KUMPULAN PUISI ASA JATMIKO


KUMPULAN PUISI ASA JATMIKO
Asa Jatmiko
Dilahirkan pada 07 Januari 1976. Menulis puisi, cerpen, essai sastra dan budaya ke berbagai media massa yang terbit di Indonesia, seperti; Kompas, Suara Pembaruan, Bernas, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Lampung Post, Surabaya Post, Bali Post, Media Indonesia, Jawa Pos, Solopos, dan lain-lain.
Karya-karyanya juga termuat berbagai antologi, seperti; Hijau Kelon, Resonansi Indonesia, Grafitti Gratitude, Filantrophi, Trotoar, Tamansari, Gerbong, Jentera Terkasa, Embun Tajalli, Begini Begini dan Begitu, Pasar Kembang, Buku Catatan Perjalanan KSI, dan lain-lain. Selain itu, ia aktif juga di dunia seni pertunjukan (teater), dengan telah menulis naskah drama dan menyutradarai beberapa pentas teater. Karya di bidang teaternya, antara lain; Rekonsiliasi Nawangwulan_Joko Tarub, Performance Art “Dust To Dust”, Parodi Jonggrang Putri Prambatan, LOS (Labours On Stage), Pentas keliling 2 Naskah karya Kirdjomuljo, berjudul Senja dengan Dua Keleawar dan Sepasang Mata Indah. Kemudian bermain dan menyutradarai lakon Hanya Satu Kali, Godlob dan terakhir The Tragedy of Hamlet di Universita Muria Kudus.



DO'A SEEKOR PRENJAK
 Ya Tuhan, Yayangku.
  sebagai seekor prenjak yang binal
  aku tak ingin bertengger di tangan
  juga tak mau hanya berpeluk di dada

  aku mesti terangsang dan birahi
  aku mesti kian gila jatuh cinta
  maka pintaku cuma satu
  biarkan aku bersarang di jembut-Mu

  milik-Mu paling rahasia
  milik-Mu paling rahasia
  disitu Kau punya acara pribadi
  disitu Kau punya privacy

  karena apabila semua itu tak terjadi
  apalah guna aku Kau cintai
  akulah prenjak yang sendiri
  maka di jembut-Mu aku berseru;
  perkosalah aku, Yayangku!
  atau kupotong kontholku?!!
 (Bukit Jati, '99)

ENGKAU LEMPAR BATU, AIR PUN BERPENDARAN
dan kita pun kepingin menuruni bukit itu meski tanah begitu renyah berguguran bagai dua anak ayam, lari-hilang dan muncul lagi dari balik rerimbunan melewati satu dua pohon jati yang mulai ranggas secepat itu waktu bergegas menyeret musim demi musim hingga akhirnya kita sampai di bibir sungai ini sebagai air dan batu kali

engkau melempar batu dan air pun berpendaran sebelum kita duduk dan memperhatikan suara riak riak seperti meneriakkan pertanyaan pertanyaan serupa ''Adam dan Eva tak lagi bercinta mengapa kalian datang membawa wajah mereka?''

kita pun sesungguhnya tak pernah bisa mengerti mengapa kita bertemu saat ini setelah lonceng muara berdentangan setelah sama sama melewati barak barak pengungsian setelah merasa diri, cinta sudah tak ada lagi

engkau melempar batu sebagai air aku pun berpendaran lalu menyatu di dalam keheningan meski kita pun sama sama tak tahu sampai kapan kita bisa mempertahankan
Tepi Sungai Progo, 2000

Kamar Pengantin
akhirnya aku menjumpaimu di sini
di antara wangi kenanga dan warna biru
berkubang dalam satu gerabah
puncak dari perjalanan yang rumit
dan setelah kita meroncenya
menjadi perhiasan di sanggulmu dan leherku
tetapi cinta bukanlah sajak
juga bukan keindahan itu sendiri
di dalam satu gerabah
kita bertukar jawab dengan jujur
aku menjumpai huruf yang tercipta di hatimu
kamu pun akan tahu betapa ringkihnya aku
di sini kita beradu rasa cemas
karena kenyataan memang lebih menyakitkan
turunlah, kutunggu kamu di sini
berkubang dalam satu gerabah
agar kita tahu pantaskah kita bernama cinta
Kudus, Oktober 2008
Nol
sudah aku serahkan semuanya padamu
kacamata, topi, hanger, baju, sarung
termasuk nasib baik yang mestinya aku terima
hari ini kau meminta lagi
apapun yang masih aku miliki
padahal kau tahu aku tak punya apa apa lagi
mestinya kau tahu jika kau terus memaksaku
akhirnya aku berani melawanmu
Kudus, Oktober 2008.    
Daun Telinga yang Perawan
ingin aku membisikkan kata
di ujung daun telingamu yang perawan
hitamnya masa depan
susahnya membebaskan diri dari ketakmampuan
aku berharap banyak darimu
matahari yang menguak gelap kehidupan
dan hanya suara belalang
tersisa hingga engkau anggukan kepala
barangkali aku ayah yang ceroboh
membagi cerita pahit kepadamu
dan mengandaikan keindahan
mesti direbut dengan tangan keras
padahal mestinya aku tersenyum
demi telingamu yang perawan
dan anggukan kepalamu
yang sesungguhnya mengiris hatiku
aku membisikkan kata yang lain
yang terakhir kali
di ujung daun telingamu yang masih perawan
tentang kekuatan cinta yang harus dipercaya
tentang matahari yang menerbitkan keberanian.
Kudus, Januari 2008.

Rumah
rumah yang kubangun
dari cinta cinta yang tumbuh
yang kuberi ruang
dan kurawat di setiap saat
memang bukan dari kaca
atau marmer istimewa
kadang solfatara
mengapung di atas asbak
dan menyela perbincangan
temboknya berlumut
lumut yang bisa bicara
coretan dinding
yang berbisik dalam gelap
lalu pot pot yang seakan diam
menjaring informasi gerimis
gelas dan dentingnya
melempar fenomena
di tengah kepongahan
lalu aku hanya membiarkan
semuanya menjulur ke langit
menjalar ke tanah tanah basah
atau menjala semua ikan ikan
yang terbawa angin senja
di situlah kami tumbuh
hingga tak mengenal mati.
Kudus, Januari 2008.

Swara di Suralaya
dan menggelayut swara tetabuhan
menggiring perginya sang jendral
yang pernah menodongkan tongkatnya
ke hidung pribumi yang tak seiya,
entah slendro, entah pelog
tangis dikabarkan dari puncak giri
entah slendro, entah pelog
klothekan bocah bocah pangon
bertemu swara di suralaya
menghentikan lawatan sang jendral
menuju muara
di situ ia masih sempat terpana
hidup sungguh begitu nikmatnya
kalau saja ada kesempatan kedua
akan dirampungkannya segala
atau dirampoknya segala
sampai kita menyerahkan cinta.
Kudus, Januari 2008.


Negeri Tragikomedi (1)
langitku retak
bumiku lebam
lalu laut berderak
dan gunung berdentam
seperti pisau puisi
bahkan lebih ngeri
siapapun membaca
siapapun merasa
dari kolam sajak di koran pagi
meloncatlah ia ke kehidupan
karena hati tak lagi mau dengar
karena jiwa tak ada lagi ruang
ia terentaskan
tapi jiwanya mati
tak terselamatkan
Kudus, 2007-2008.


Negeri Tragikomedi (2)
aku pasti menulis sajak dan akan terus bersajak
meski pohon pohon hilang roh air hilang muara
batu batu mendesak ruang dan jiwa nglambrang tak berarah,
aku pasti pistol yang telah meledakkan kepalamu
sesaat kau hendak bangkit dari kursi kuasamu…
di belakang kita telah ada yang pengintai,
lalu merekam apa yang telah kita lakukan
untuk dijelmakan bom
saat logika tak bisa menjelaskan
kenapa kita telah begitu kecewa dengan kesewenangan ini….
wajarkanlah kemarahan kami seperti debur lumpur yang menggelora,
dan tak perlu hati bicara jika hidup saja sudah dibunuh
layaknya sapi di pejagalan,
terlunta lunta sudah perjalanan ini
hingga tak sempat lagi kami punya birahi terhadap apapun….
keempat anak anak kuhadapkan tuhan
karena dialah yang mestinya bertanggungjawab,
karena pohon pohon yang hilang roh air hilang muara
dan batu batu mendesak ruang hingga tersampir di bibir pembaringan,
seperti ketekunan para pendoa yang tak pernah terkabul doanya
dan aku akan terus menulis sajak sajak dalam sunyiku
Kudus, 2007-2008.


Tapal Batas
jika jalan
patah sudah
kemana kaki
jika malam
pecah sudah
kemana hari
jika angan
tumbuh kembali
kemana angin
jika cinta
pulang kembali
kemana hati
jika engkau
tanyakan aku
dimana dirimu
jika engkau
tanyakan engkau
disitulah dirimu
tak pergi
tak pulang
di sini
membaca bintang
mencatat sungai
kita akan menuai
di ladang sajak
Kudus, 2007-2008.


ENGKAU MENJADI SAJAK,
pertama
Teja menetes. Lagu nurani yang rindu pada mata.
Menyeruap ke segenap leleran darah yang hidup.
Begitulah kita memulai pengembaraan ini, Suksma.

Teja menghilang. Membasahi dan membasuhi laku.
Hingga tak rasa di tubuh ini telah ngalir darah.
Begitulah kita akan mengakhiri semua ini, Suksma.
Bukit Jati, 99

ENGKAU MENJADI SAJAK,

kedua

Tetapi benarkah engkau yang hadir ke penjara.
Menyuapkan remah remah roti ke mulut kegagalan.
Suksma. Angin yang menari di atas daun jati.
Berhentilah kita menciptakan teka teki.

Tetapi benarkah engkau yang kemudian disini.
Membakar masa lalu dengan api masa depan.
Suksma. Bergetaran ranting memendam dingin.
Terpidana itu pun renggut ke dadamu terdalam.
Bukit Jati, 99

SEPERTI BERINGIN PAKUALAMAN
seperti beringan itu keangkuhan berdiri dan kita bersembunyi di antara gerai akar yang memamerkan keindahan sunyi

kenapa kita mampir di sini padahal rembulan telah terbakar sore tadi daun daun berjelaga karenanya dan angin semakin enggan menyapa lantas kepada siapa kita akan bercerita?

kenapa kita mampir di sini jadah bakar tak lagi menarik hati sementara musisi itu terus saja bernyanyi lagunya tak pernah bisa kita mengerti lantas kapan kita akan saling berbagi?

seperti gelaran tikar di trotoar kita duduk di atasnya membuka mata kenangan juga pembicaraan yang seringkali memabukkan tetapi keangkuhan tetap berdiri meski tak ada lagi yang sedia mempersaksi

angin basah merayap melintas di depan kita ketika aku meneguk sisa kopi yang terakhir dan engkau tiba tiba memelukku ''temani aku sesaat lagi,'' tapi malam telah menggelapkan wajahmu dan rembulan telah terbakar sore tadi untuk apa lagi kebersamaan ini?
Pakualaman, 2000

INDONESIA DI AORTA ANAKKU
Anak perempuanku selalu mencabik cabik Indonesia
Pada setiap pagi dan senja, dan masih di bawah trembesi
Sebab rumah yang selalu buat singgah, serasa terbelah
Siang menciderai matahari, bulan pun terluka malam
Dan anakku menggenggam berbie bernyanyi di kamar mandi
Menirukan sebuah lagu yang terisak seorang pengembara:
”mengapa harus lelah karena cemburu?”
Indonesia menyusup dalam nadinya yang bercahaya
Seperti seekor kunang kunang di dalam botol kaca
Ingin meronta! Ingin memberontak!
Memecahkan botol kaca meskipun bertaruh nyawa.
Sebentar lagi saja, waktu akan melahap habis harapan
Bahkan cintanya, sebab di rumah ia tak lagi menjadi anugrah
Sembari melarung dua buah sekoci, di tepi sungai coklat
Yang mengalir di bawah trembesi,
terdengar anakku bernyanyi lirih dan sesak:
“Dia mati di aortaku!”
Kudus, 2010/2011.



DALAM GERBONG KERETA

Kemana saja kita selama ini?
Menjadi penyair yang bersajak anggur dan rembulan?
Menjadi politisi yang berorasi demi tahta dan mahkota?
Menjadi ulama yang berkhotbah atas nama jubah?
Menjadi seniman yang tiap hari ke salon untuk rambutnya yang gondrong?
Menjadi guru yang selalu lupa mengabsensi muridnya?
Menjadi pemuda yang sibuk dengan pacarpacarnya?

Kemana saja kita selama ini?
Gerbong kereta Indonesia melaju tak terkendali
di atas rel yang tak seirama
Masinisnya telah mati terbunuh di perempatan reformasi
Para kondekturnya mabok di sudutsudut gerbong
mereka bergoyang pantura
hingga lupa dadanya telah terbuka
wudelnya bodong nodong kemanamana
mulutnya penuh uang saweran

'Tutupen botolmu, tutupen oplosanmu,
Emanen nyawamu,
Aja mbok terus-teruske
Mergane, ora ana gunane..."

Hendak kemanakah kita?
Rel kereta lurus dan panjang
Menjalar di sepanjang tepi pantai,
melingkari perbukitan
Lalu hilang dalam kegelapan

Larut dalam hening yang dalam
Suara kelelawar terjepit di antara bebatuan
Tak ada bulan. Tak ada bulan.
Anjing menggonggong di kejauhan.
Jubah mahadewa berkelebat dan hilang.


Kereta terus bergerak
Berderakderak
Di gerbong kereta nomor dua
Seorang lelaki muda blingsatan
Tangannya mencengkeram perutnya
Keringat bercucuran dari keningnya
Lehernya
Tubuhnya terguling bergulung menggulung
"Aaahh!"

Tibatiba berhenti, kepalanya membentur tiang besi
Orangorang melihatnya
Merubungnya
Bergumam dan berbicara meyakinkan dirinya sendiri
"Dia sakit?"
"Ah, cari perhatian saja!"
"Mulutnya berbusa. Ayan?!"

Seseorang mendekati lelaki muda yang terkapar itu
"Hei, jangan! Nanti kamu ketularan!"
"Dia perlu pertolongan!"
"Nggak!"
"Nanti juga sembuh. Itu cuma sakit perut!"
"Kamu sakit?"
"He, wiswis! Rausah dirubung! Sumuk!
"Dasar ndeso!"
"Bubar! Bubar!!"

Satu persatu kembali ke tempat duduknya.
Terdengar roda besi gemeretak di bantalan rel
Gerbonggerbong nggloyor terhuyunghuyung
Kepalanya berdarah
Di luar, malam terbelah
Angin santer melumat nasibnya.

Seorang lelaki bertubuh tambun melek dari tidurnya
Gegara disikut perempuan yang duduk di sampingnya
Ia tak bertanya mengapa kepalanya disikutnya
Ia tahu kepalanya tlah nyangkut ke buah dadanya

"Tidur itu yang sopan!
Sudah ndak sopan, ngorok pula!
Suara kereta sudah terdengar seperti gasing
Tambah dengkurmu nambah bising!
Minggir!!”

Mendengar keributan
anaknya di pangkuan terbangun
Usianya lima 5 tahun
"Sudah sampai mana, Ma?"

Di luar kereta
gelap telah beberapa lama menyergap.
Ia mendekat ke jendela kaca
Terlihat bayangan wajahnya
Rasa takut datang tibatiba
Lalu perlahan ia menarik wajahnya

"Sudah, jangan ribut.
Tidak usah banyak tanya."
Perempuan itu mengambil android dari tasnya.
"Nih, kamu mainan game saja."

Lelaki yang disikut kepalanya,
kembali dari wc kereta
Bau pesingnya masih ngikut di belakangnya.
Perempuan itu menutup hidungnya.
"Wah, itu game gampang.
Kalau gampang, ndak menarik.
Sini, om carikan game yang asyik!"

"Yee!! Ini bagus, Om!
Sini, aku saja yang main.
Nah, aku pinter kan, Om?!
Aku pinter, kan?”

Tak lama, anak itu sudah terbenam dalam permainan
Dunia yang tak dikenalnya
Tapi dunia yang menjadikannya seolah hero
Dunia yang selalu memberinya hadiah kesombongan
Dunia yang seolah dekat,
tapi tak pernah menjadi pengalamannya
Dunia yang merangsangnya untuk menang
Sekaligus merangsangnya blingsatan kecanduan.

Larut dalam hening yang dalam
Suara kelelawar terjepit di antara bebatuan
Tak ada bulan. Tak ada bulan.
Anjing menggonggong di kejauhan.
Jubah mahadewa berkelebat lalu hilang.

Di gerbong kereta ketiga
Orangorang baru terbangun dari tidur
Mereka telah tidur berjamjam
Karena perjalanan yang menjenuhkan
Hanya setengah jam saja,
duduk di bangku kereta,
Lalu tertidur membawa mimpi masingmasing.

Berdiri seorang lelaki
Badannya tegap dan tinggi
Sambil berjalan di lorong di antara penumpang,
ia berbicara:
"Kawan-kawan semuanya,
Stasiun tujuan kita masih jauh
Perjalanan kita masih lama
Tetapi kita tidak boleh lena
Harus selalu waspada
Karena inilah perang sesungguhnya."

"Periksa semua barang bawaan kalian
Isi dompet, saku celana dan juga tas ransel kalian.
Kita harus waspada
Karena kita tidak tahu pencopet beraksi
Jangan sampai kita sadar saat kita sudah kehilangan."

"Kita adalah satu
Ikatan kita kuat
Lihatlah kita telah nampak sama
Dari celana dan warna baju
Hingga cita-cita masa depan: Sama.
Kita bergerak bersama
Karena dengan bersama,
cita-cita akan mudah tercapai."

Orangorang memeriksa saku baju dan dompetnya
Memeriksa rambut dan wajahnya
Memeriksa tangan dan lehernya
Dan setelah semua merasa nampak sama
Giranglah mereka
Bersoraklah mereka

Sementara besi dan besi bergandengan
Besi dan besi bertumbukan
Besi dan besi berhimpitan
Besi dan besi bertabrakan
Tibatiba lampu di dalam gerbong padam

Laju kereta berjalan tersendat
Beberapa detik tanpa suara
Gelap

Roda-roda besi memercikkan bunga api
Lalu di detik berikutnya pecahlah keriuhan
Orangorang berhamburan di dalam gerbong
Ruangan penuh teriakan
Di selaselanya terdengar jeritan
Lalu tangisan.

Di belakang pintu yang rusak
Seseorang tergencet
Tapi tak ada yang mendengar
Sayupsayup ia mengerang mengaduh kesakitan.

"Hai! Ada orang tergencet di pintu!
Semua diam!
Tolong semua berhenti!"

Orangorang berhenti sebentar,
menoleh kepadanya
Menatap saja
Kemudian bergegas lari dan kembali menghambur.
Kembali pada keriuhan.

"Kita satu, bukan?
Satu gerbong
Satu citacita
Kita sama, bukan?
Dalam gerbong yang sama
Untuk citacita yang sama!"

Beberapa orang akhirnya mendekat
Menyalakan lampu dari hape-nya
"Dia pencopet!
Biar saja mati
Hidupnya hanya bikin resah orang lain!"

Kereta masih jalan
Meskipun pelan
Suara dari patahan rel yang terlindas
Seperti suara air masak di atas tungku raksasa
Di gerbong keempat
Beberapa orang berbincang
Sambil matanya memeriksa ke sekitar
Seperti tak ingin orang lain dengar.

"Sudah kau selesaikan tugasmu
Sekarang tinggal bagianku.
Para kondektur yang mabok itu
Akan segera berada memihak kita.
Aku yang akan mengatur segalanya
Kalian tinggal tunggu di sini
Menikmati laju kereta
Sambil menantikan kemenangan
Yang sudah di depan mata.
Setuju?!"

Namun masih ada keraguan di antara mereka
Sulit untuk meyakinkan para kondektur
Sulit untuk membuat mereka takluk begitu saja

"Borok mereka adalah senjata kita
Keangkuhan mereka adalah granat kita
Cukup mudah buat kita:
Cukup arahkan senjata
Tepat di kepala mereka."

Larut dalam hening yang dalam
Suara kelelawar terjepit di antara bebatuan
Tak ada bulan. Tak ada bulan.
Anjing menggonggong di kejauhan.
Jubah mahadewa berkelebat dan hilang.

Sementara di dalam gerbong kelima
Gerbong paling sunyi
Gerbong paling diam
Gerbong neraka bagi pencari keadilan

Semua tempat duduk terisi
Wajahwajah penuh amarah yang ditahan
Wajahwajah pongah yang menyimpan uang haram
Anakanaknya berwajah dekil, perutnya busung lapar
Wajahwajah yang tak jua selesai dengan urusan pribadinya
Wajahwajah yang tak berani bertanya
untuk apa mereka dibawa
Untuk apa perjalanan selama ini.

Hendak kemanakah kita
Menempuh perjalanan ini
Bertemu dalam satu kereta
Suara kelelawar yang terjepit bebatuan
Makin banter terdengar
Rupanya ia telah berhasil lepas
dari jeratan akar di batuan

Ia melintas di atas gerbong kereta
Kibasan sayapnya terdengar menembus kacakaca jendela
Di lehernya berkalung lempeng perisai
Berkerlipan bercahaya

Lalu pada kibasan terakhir,
sayapnya tersangkut engsel sambungan kereta
ia terjerembab,
jatuh tak ada lagi yang tersisa,
kecuali sorot matanya.

Seorang anak kecil, lima tahun
Melihat semuanya
Lalu berjalan ke arahnya
Memecahkan kaca pintu
Memanjatnya
Lalu menghampirinya.

Kereta masih bergerak
Berderitderit
Berdarahdarah
Tibatiba terdengar ia bersuara:
"Kita punya kesadaran
Kita punya kepahaman
Kita tidak butuh teori."

Anak kecil itu seperti meyakinkan dirinya
"Hai, aku mengenalmu.
Ya, aku mengenalimu.
Ya, kamu yang sering aku hapalkan.
Kata mereka, kamu kelelawar,
Nyatanya kamu bukan.
Dan sama sekali bukan seperti yang mereka katakan.”

"Iya. Benar."
"Ini perisai emas!
Ada gambar bintang
Rantai
Pohon Beringin
Padi dan Kapas
Kepala Banteng
Ini gambargambar kesukaanku.
Semua ini ada di kampung halamanku."

"Iya. Benar.
Katakan kepada mereka,
aku bukan Tuhan
Aku bukan mahadewa.
Aku bukan di awanguwung.

"Aku seharusnya ada di hati
Di tangan dan kaki
Di pikiran
Di perkataan."

Larut dalam hening yang dalam
Suara kelelawar terjepit di antara bebatuan
Tak ada bulan. Tak ada bulan.
Anjing menggonggong di kejauhan.
Jubah mahadewa berkelebat dan hilang.

Kudus, Agustus 2017

Comments