KUMPULAN PUISI JUMARI HS
Jumari HS, Penyair otodidak, lahir di Kudus, 24 November 1965.
Karya puisi dan cerpen terhimpun dalam antologi bersama. Jadi Ketua Teater
Djarum, sehari-hari berkerja sebagai supervisor bagian produksi rokok PT Djarum
Kudus. Buku puisi tunggalnya berjudul ‘Tembang Tembakau ‘ dan ‘Tentang Jejak
Yang Hilang’
Air
mata Menjelang Tahun Baru
Seperti
derasnya hujan, air mataku berguliran
Mengurai
jejak-jejak silam yang senantiasa
berdarah
dan mengaduh
Di
puncak bulan penuh rindu ini, aku ingin
membalutnya
dengan rintik gerimis
Dan
dinginnya sunyi yang menggumpal di
kalbu
Sebentar
lagi mungkin ada matahari baru
Yang
terbit berwarna entah, sebab takdir
selalu
bersembunyi
Di
balik terai usia menuju senja, di mana
segala
rahasianya
Mendedah
batinku terus bertanya-tanya
Seperti
di tikungan jalan, langkahku diselimuti
bermacam
kenangan
Yang
membayang dalam siang malam. Ada
perih
terasa beriak-riak riuh
Dan
begitu derasnya mengalirkan
kekalahan-kekalahan
di sungai jantungku
Dalam
arus sembilu ingin menemuMu
Sebentar
lagi mungkin ada angin baru
Yang
berdesir dan mengantarkan aku mengenal
kembali
ke kelahiran
Di
sini, doa-doa kumendesahkan pesonanya
Kudus,
akhir 2015
Elegi
Rumput
Aku,
rumput yang pasrah
Tumbuh
di tanah di kelilingi beton dan sampah
Siang
malam terinjak jejak-jejak pongah
Dan
bermacam kepentingan
Aku,
rumput yang merimbun rindu
Menadah
ke langit, melihat matahari terluka
Dan
gedung-gedung itu menjulang perih
Di
pelupuk mata
Aku,
rumput yang tersisa
Tergusur
keangkuhan, lalu menepi ke tepi-tepi sungai
Menyaksikan
arus limbah berbau anyir
Aku,
rumput yang hijau
Bertahan
hidup, mengaji air mata.
Kudus,
akhir 2015
Catatan
Kasih
Jika
engkau masih ada kasih
Mungkin
tidak ada pertikaian-pertikaian di benakmu
Yang
dapat meruncingkan lidah dan tajamnya
mengiris
puisi
Jika
engkau masih ada kasih
Mungkin
tidak ada kebodohan-kebodohan
melilit
otakmu
Yang
dapat menyesatkan jalan dan resahnya
mengaburkan
kebenaran
Jika
engkau masih ada kasih
Mungkin
tidak ada kebencian-kebencian
di
hatimu
Yang
dapat membakar cinta dan asapnya
menyesakkan
langkah
Jika
engkau masih ada kasih
Mungkin
tidak ada keraguan-keraguan
di
pikiranmu
Yang
dapat membiaskan pandnagan dan
galaunya
menebarkan bayang-bayang
Jika
engkau masih ada kasih
Pasti
tidak ada rindu yang mengantarmu
Ketentraman.
Kudus,
akhir 2015
Catatan
Kematian
Ini
kabar kematian yang kau lupakan ;
Ia
tertidur membunuh perasaannya dengan sebilah kepalsuan
Setelah
pikirannya dikuasai kejumawaan
Tak
ada manusia kekal di dalam pencarian
Saat
mimpi tinggal igauan menyesatkan kata
Ibu
yang melahirkan pun sengsara dilupa
Dan
air susunya mendidih, beku
Menyerupai
jiwa yang dirajam
Saat
ada suara menghiba
Airmatanya
bergulir di jatungmu
Dan
rintihnya yang pilu penuh iba
Lalu
menadahkan tangannya, tersayat
Pisau
tajam yang bersarang di jiwamu
Ia
bukan lagi manusia
Kau
memang telah hilang ;
Setelah
cinta dikalahkan nafsu
Di
setiap jejak pencarianmu yang banal
Doa,
airmata dan keringat kering di matamu
Menggumpal
keras meleleh sakit di pijar cahaya abadimu.
Kudus, 08 September 2015
Elegi
Airmata
Merdeka!
Makan pagi, makan siang
Dan
makan malam lalu anak-anak tidur bermimpi
Kehilangan
negeri sendiri
Airmata
menetes, meratap di kibaran merah putih
Dalam
wajah angkuh kekuasaan
:
Aku menatapnya di atas bebatuan
zaman
tersayat kemunafikan.
Kudus, 19 Agustus 2015
Mencintai
Burung-Burung
Di
hutan tinggal pohon-pohon plastik
Menyisakan
rintih angin di nafasmu
Di
sini, burung-burung pergi ketakutan
Mendengar
suara gergaji
”Kemana
burung-burung itu pergi?” tanya anak-anak zaman
Wajahmu
pucat melihat bayang-bayang sendiri
Kudus, 20 Agustus 2015
Zaman
Edan
Ini
zaman edan!, kata jam dinding di kamar hotel
Menyaksikan
seorang kakek berduaan
dengan
seorang wanita
Mereka
saling bercumbu melukai usianya
Harga
diri lebih terhomat kenikmatan sementara!
Pencarian
di sini tanpa peta :
Orang
mudah melupakan kelahirannya sendiri
Bayang-bayang
menjadi sayapnya,
lalu
terbang meluka langit
Rintik
gerimis terasa perih di urat nadi
Ini
zaman edan!, keluh air warnanya coklat
ditinggalkan
pohon-pohon
Ketika
sungai menampung bayang-bayang
dan
tanah membatu di pelataran
Anak-anak
tidak bisa bermain ombak sodor,
petak
umpet, matanya kosong
Dibiarkan
orang tuanya yang mengejar mimpi kepalsuan
Sulit
menemukan cinta, dan pencarian kehilangan peta!
Ini
zaman edan!, geram buku yang tergeletak kaku di mejamu
Setelah
segelas kopi menyisakan sebait puisi
mengabarkan
kematian
Lalu
tak mengenal Tuhan.
Kudus, 12 September 2015
Aku
Milik Siapa?
Aku
milik siapa?
Di
ujung senja banyak kota merampas kata dari mulutku
Sampai
lidahku kaku, dan mataku berkunang-kunang
setiap
melihat kebenaran
Menyerupai
iklan yang diusung kebohongan-kebohongan
Aku
milik siapa? Jiwaku lelah dikejar
bayang-bayang
yang datang dari segala penjuru
Jejak
angin pun telah kehilangan cinta lalu luruh
di
peradaban batu-batu
Aku
milik siapa?
Dalam
tanya aku rindu kelahiran sendiri
Diriku,
negeriku, bahkan Tuhanku
Siapa
yang telah mengusirnya?
Kudus, 15 September 2015
Aku
Suka
Sejak
kecil aku suka hutan
Hawanya
sejuk dan banyak pepohonan
Aku
tidak takut dengan binatang
Meski
tabiatnya buas dan liar
Yang
penting harga diriku tak terancam
Sejak
kecil aku suka sawah
Tanahnya
subur dan banyak tanaman
Aku
tidak resah dengan panas maupun hujan
Meski
kulitku sampai hitam legam
Yang
penting hatiku cahaya Tuhan
Sejak
kecil aku suka laut
Airnya
berombak dan penuh ikan-ikan
Sebab
ombak itu angin dan nafasku
Sebab
ikan-ikan itu rejeki dan gairahku
Dalam
pengembaraan hidupku
Aku
suka!
Kudus, 14 September 2015
Sembahyang Airmata
Ini sembahyang airmata yang menetes rindu
Ia ingin menjelma gerimis di musim kemarau dengan rintik ketulusan
Setelah hatinya dikepung terik baying-bayang peradaban
Tak ada yang tertunda selagi nafas masih dapat menghirup udara
Atau mata kita ikhlas, takjub berpaling melihat cahaya
Saat doa-doa berguliran ada sungai mengalir mengantarkan cinta
Saat sunyi bersujud ada purnama terbit di jiwa
Saat hidup sementara ada kabar kematian yang menyapa
Ini sembahyang airmata yang bergulir membelah samudera
Ia ingin berlayar dalam debur ombak memecah karang keangkuhan
Setelah pencariannya dipenuhi kekalahan-kekalahan
Ini sembahyang airmata
Berlinang membasuh debu-debu yang melekat
Di dalam dada!
Kudus, Mei 2016
Matahari Mengutuknya
Bagi para pemerkosa dan pembunuh Yuyun
Di hidupku masih tercium darahmu
Baunya menyerupai angin mengantarkan gerimis luka
Menetes di kelopak mata, sampai sajak-sajakku menjerit kesakitan
Di urat nadiku
Darahmu mengalir dan mengalir, mengaruskan kepedihan
Suaranya menyembilu di relung-relung hati
Suaranya menggergaji harapan-harapan kasih saying
Keadilan menyalakan kemarahan atas kebiadaban
Pada airmata yang menetes perih itu
Terbayang nasibmu seperti menyaksikan bilur-bilur hujan
Menderas perih dari peristiwamu yang tak akan terlupakan
Dan matahari pun mengutuknya, bukan?
Di sini,
Berjuta-juta nafas ibu dan anak-anak mengantarmu
Sampai ke pintu surga.
Kudus, Mei 2016
Ingin Menjadi Ombak
Di bibir pantai itu
Aku ingin menjadi ombak
Menderu dalam lautMu.
Kudus, Mei 2016
Tangis Tembakau
Di lembar daunmu
Aku dengar tangis ibu-ibu itu
Melinting-linting nasibnya
Di batu-batu.
Reklamasi I
“Jika laut jadi lumpur
Lumpur jadi tanah
Tanah jadi batu-batu
Batu-batu disulap jadi hotel, wisma,real estate,
Super market, lapangan golf maupun gedung-gedung perkantoran,
Lalu ke mana air dan ikan-ikan itu pergi?” keluh para nelayan sambil mengusap
Airmata yang menetes perih
“Jika sawah-sawah jadi perumahan
Perumahan jadi kelaparan
Kelaparan jadi kebencian
Kebencian jadi pertikaian
Pertikaian jadi baying-bayang,
Lalu di mana keteduhan dan ketentraman hidup?” ratap para petani
Yang mencangkul keringatnya
Di sini, laut dan sawah tinggal kenangan
Kenangan tinggal sembilu
Sembilu yang menyayat-nyayat di kalbu!
Kudus, April 2016
Membaca Gerimis
Terdengar rintih gerimis di luar jendela
Aku membacanya pada angin risau kehilangan jejak
Dan tanah itu tinggal bebatuan, kerasnya
Menggumpal di kalbu
Di sini, matahari sudah tak sehangat masa lalu
Terik membakar mimpi dan harapan siang-malam
Sungai-sungai pun mengarus dendam, mengajak kita melihat berbagai
Keangkuhan, menebar baying-bayang
Membaca gerimis itu
Aku membaca paragraph-paragraf kekalahan
Yang berjumpalitan mempertontonkan bermacam-macam luka
Memerih di setiap bait-bait doaku
Membaca gerimis itu
Ada sakit menetes-menetes
Di tinggalkan tanah.
Kudus, April 2016
Selalu Saja …
Selalu saja kau mendengarkan rintih puisi dari angin yang dating tak berpeta
Selalu saja kau baca kegaduhan huruf dan angka-angka yang berjumpalitan di ruang pesta
Selalu saja kau rasakan gulir airmata yang memerih diperas keangkuhan
Selalu saja kau menemukan kasih saying dijungkirbalikkan kebohongan
Selalu saja kau tak perdaya dan kita senantiasa dipaksa berjalan tertatih-tatih
Memanggul baying-bayang luka.
Comments
Post a Comment