Cerita Desa Sumber dan Dukuh Bulusan

Cerita Desa Sumber dan Dukuh Bulusan



Sebuah tradisi Perayaan di musim 'Kupatan' (lebaran Idul Fitri hari ke-8) yang sudah turun temurun dari zaman 'Wali Songo' hingga sekarang, bahkan menjadi semacam agenda wajib bagi warga Dukuh Sumber Hadipolo Jekulo Kudu. Dukuh Sumber yang merupakan salah satu Dukuh yang dilewati Jalan Kabupaten ini, mungkin tak banyak orang yang tahu bagaimana sejarah dan asal-usul tradisi 'Bulusan', bahkan ada sebagian yang mengabaikan cerita unik dan relegius ini.
Hanya orang-orang tertentu sajalah yang dapat mengisahkan ulang bagaimana sejarah Bulusan. Padahal setiap musim Kupatan tiba, ribuan orang berkunjung ke tempat tersebut. Sebuah tradisi keramaian di musim kupatan (lebaran Idul Fitri hari ke-8) yang sudah turun temurun dari dulu hingga sekarang. Mungkin tak banyak orang yang tahu bagaimana sejarah dan asal-usul tradisi Bulusan.

Sedikit sekali bahkan hanya orang- orang tertentu saja yang bisa mengisahkan ulang bagaimana sejarah Bulusan. Padahal setiap musim kupatan tiba, ribuan orang berkunjung ke tempat tersebut. 

Cerita Bulusan mengisahkan tentang Mbah Dudo, seorang alim ulama penyebar agama Islam di Kudus. Dia mempunyai murid bernama Umara dan Umari. Dalam perjalanannya menyebarkan agama Islam, Mbah Dudo berniat mendirikan pesantren di kaki Pegunungan Muria.

Pada Bulan Ramadhan, tepatnya pada waktu malam Nuzulul Quran, Sunan Muria dating untuk bersilaturrahim dan membaca Al Quran bersama Mbah Dudo, sahabatnya. Dalam perjalanannya, Sunan Muria melihat Umara dan Umari sedang ndaut atau mengambil (dengan cara mencabuti) bibit padi di sawah pada malam hari. 

Sunan Muria berhenti sejenak dan berkata kepada mereka berdua, “Lho, malam Nuzulul Quran kok tidak baca Al Quran, malah di sawah berendam di air seperti bulus saja!”. Akibat perkataan itu, Umara dan Umari seketika menjadi bulus (kura-kura air tawar). Tak lama kemudian, Mbah Dudo dating meminta maaf atas kesalahan kedua santrinya kepada Sunan Muria. Namun nasi sudah menjadi bubur, Umara dan Umari sudah menjadi bulus dan tidak mungkin dapat kembali lagi berubah menjadi manusia.

Akhirnya, Sunan Muria menancapkan tongkatnya ke tanah dan keluar mata air atau sumber, sehingga diberilah nama tempat itu dengan nama Dukuh Sumber. Kemudian tongkatnya berubah menjadi pohon yang diberi nama pohon tombo ati (obat hati).

Sambil meninggalkan tempat itu, Sunan Muria berkata, “Besok anak cucu kalian akan menghormatimu setiap seminggu setelah hari raya bulan Syawal. Tepatnya pada saat Bodo Kupat, alias Kupatan.

Hmm..sebuah cerita yang, mungkin saja benar atau mungkin tidak semuanya benar. Namun yang pasti sampai sekarang, setiap musim kupatan tiba, keramaian di Dukuh Sumber tak pernah berhenti.

Ada juga versi yg lain

Ikhwal keramaian bulusan berawal saat suatu malam Sunan Muria melihat ada sejumlah warga yang ndaut (mencabuti benih padi yang akan ditanam-red). Kepada orang yang dituakan,
Sunan menanyakan mengapa malam-malam masih ‘’krubyak-krubyuk’’ seperti bulus. Apalagi
saat itu masuk bulan Ramadan.
Masih mendasarkan pada sumber ‘’turunan’’ tersebut, tetua yang diyakini sebagai ahli nujum, salah seorang pejabat Kerajaan Mataram bernama Subakhir beserta pengikutnya akhirnya menjelma menjadi bulus (kura-kura).

Perjalanan Sunan Dari kisah anonim tersebut, juga diceritakan sejarah sejumlah lokasi di sekitar Desa Hadipolo. Sunan Muria kembali melanjutkan perjalanan diikuti oleh puluhan bulus, penjelmaan Mbah Duda dan santri-santrinya, menuju selatan. Di tempat tersebut, dia berhenti sejenak di sebuah tanah gumuk (gundukan tanah) yang di kemudian hari dikenal masyarakat sebagai wilayah Prasman.
Konon, Sunan Muria tersenyum (bahasa lokalnya mrasman) mengingat kejadian yang baru saja dia alami. Kembali meneruskan langkah ke selatan (diperkirakan jalan Kudus-Pati sekarang), Sunan mematung memikirkan nasib Mbah Duda.

Beberapa orang yang menyaksikan sikap Sunan kemudian menyebut tempat tersebut sebagai Togog. Di tempat itu, ujar kedua juru kunci tersebut, Mbah Duda memberanikan diri menanyakan nasibnya beserta para santri setelah Sunan Muria bermaksud meninggalkan mereka.
Mendengar hal itu, Sunan kembali mengajak Mbah Duda melanjutkan perjalanan ke utara. Di tengah perjalanan, dia mengambil sebatang kayu adem ati (menyerupai batang pohon kluwak) dan menancapkannya di suatu tempat.

Ketika batang kayu tersebut dicabut, keluarlah mata air yang kemudian dipercaya menjadi asal sungai Sumber. Setelah itu, Sunan kembali bersabda dan memerintahkan Mbah Duda beserta para santrinya untuk menjaga daerah tersebut dan menjanjikan bahwa akan ada orang yang
memberi makan pada mereka, khususnya saat syawalan.
Di tempat ditancapkannya kayu adem ati yang oleh Sunan Muria yang kemudian dijaga oleh Mbah Duda dan para santrinya - yang berwujud bulus tersebut - tradisi bulusan dilaksanakan
sampai hari ini. ‘’Itu cikal bakal syawalan bulusan,’’ ujar warga RT 4 RW 5, Dukuh Sumber, Hadipolo, Kecamatan Jekulo, itu.
Faktanya, setiap warga sekitar yang punya hajat biasanya caos dhahar (memberi makan) kepada
‘’sesepuh desa’’ melalui sang juru kunci. Makanan kesukaan biasanya berupa telur rebus.

Entah benar atau tidak, yang jelas itu sudah berlangsung sejak dahulu dan dipercaya masyarakat sekitar. Kini, setiap tanggal 7 Syawal, ibaratnya hamper setiap jengkal tanah menuju Balai Bawa Leksana, persis di depan kedua juru kunci tersebut tinggal, selalu dipadati pengunjung. Seakan menyambung kisah perjalanan Sunan, syawalan memang tetap akan dipertahankan dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Tentu saja, semua itu mendasarkan pada kisah para tetua yang lugu dan apa adanya.

Comments